Siapa Mundur, Setelah Novanto?
SATUHARAPAN. COM – Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) telah menutup kasus pelanggaran etik oleh Ketua DPR, Setya Novanto. Keputusan diambil pada sidang hari Rabu (16/12) malam setelah Novanto menyampaikan surat pengunduran diri sebagai ketua DPR.
Meski demikian, reaksi publik yang muncul tetap negatif, baik di media massa maupun di media sosial. Ini menandai masih banyak kekecewaan atas proses penuntasan kasus yang memalukan ini dalam sejarah Dewan.
Meskipun kalangan politisi pendukung Novanto menyebut pengunduran diri itu sebagai kebesaran hatinya, publik umumnya menyebut penilaian itu sebagai naif. Peta kekuatan suara di MKD sudah jelas menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran etik oleh Novanto dalam kategori sedang dan berat.
Tanpa mengundurkan diri pun hampir dipastikan keptusan MKD akan mengarah pada pemecatan Novanto dari jabatan ketua DPR. Maka, sikapnya itu bukan hal yang menunjukkan kebesaran hati, bahkan juga bukan sikap ‘’ksatria’’ sebagai politisi, karena lebih sebanyai ‘’menyelamatkan muka’’ Novanto yang tercoreng.
BACA JUGA : |
Menargetkan Jabatan
Hal lain yang mengecewakan adalah kasus itu ditutup oleh MKD setelah surat pengunduran diri Novanto dibacakan; seolah-olah sidang itu hanya untuk tujuan melengserkan Novanto dari jabatan ketua DPR. Jadi terlihat bahwa targetnya adalah jabatan.
Tidak cukup jelas, bahkan sangat lemah argumentasinya untuk membuat kasus pelanggaran etik yang disangkakan itu ditutup hanya karena tersangka mengundurkan diri dari jabatan ketua DPR. Sebab, kode etik yang diduga dilanggar adalah kode etik Dewan, bukan kode etik Ketua Dewan.
Terlepas tersangkanya itu ketua Dewan atau anggota Dewan, juga terlepas tersangkanya itu telah mengundurkan diri atau tetap berkeras menjabat, prosesnya mesti dituntaskan. MKD semestinya melanjutkan sidang dan sampai pada kesimpulan apakah terjadi pelanggaran etik atau tidak.
Sekalipun bukan ketua Dewan, Novanto masih anggota Dewan yang terikat dengan kode etik Dewan. Dia tidak bisa lepas dari tanggung jawab pada apa yang telah dilakukan dengan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk mendapatkan saham PT Freeport. Dan ini harus dilakukan oleh MKD.
Ditutupnya kasus ini memperlihatnya bahwa ‘’pangggung kedua’’ di balik sidang MKD telah bermain dengan kepentingannya sendiri. ‘’Panggung tertutup’’ ini dicurigai menjadi ajang kompromi yang sama tidak etisnya dalam menjalankan tanggung jawab sebagai wakil rakyat, dan pertaruangan masih tidak jauh dari soal jabatan.
Bagaimana Pembela Novanto ?
Masalah etik ini semestinya tidak berhenti pada Novanto. Banyak kasus yang kemudian muncul sebagai buntut dari proses yang diulur dan dihambat-hambat. Akibatnya, sejumlah anggota MKD saling mengadukan terjadi pelanggaran etik.
Sejak kasus pencatutan nama ini, terlihat sekali pihak-pihak di Dewan yang secara vulgar berusaha menghambat proses, terutama dari kalangan Dewan yang termasuk koalisi di balik Novanto. Sikap yang sangat kentara adalah memposisikan saksi sebagai ‘’tersangka’’ untuk melindungi tersangka yang sesungguhnya.
Pada situasi yang ‘’kriti’’ bagi Novanto, Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah yang cukup vokal membelanya, masih sempat meneken surat pencopotan Akbar Faisal dari keanggotaan MKD. Dan kasus ini sudah sepantasnya juga menjadi sorotan MKD, karena bisa terkait masalah etika.
Mundurnya Novanto pantas diartikan sebagai ‘’pengakuan’’ kebenaran dan terbuktinya apa yang disangkakan padanya. Itu sebabnya, banyak suara di publik yang mendorong ‘’para pembela’’ Novanto itu juga mundur.
Masalahnya, apakah mereka itu masih memegang etika dan punya nurani untuk mengambil tindakan itu? Haruslah dilihat bahwa sejak dilantik Oktober tahun lalu, kinerja Dewan sangat tidak memuaskan: produk legislasinya rendah, kinerja pengawasannya lemah, bahkan menjadi objek pengawasan.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...