Sidang Praperadilan Mahasiswa Papua Digelar di PN Yogyakarta
Gobay juga meyakini, penangkapan itu telah melanggar asas kemanusiaan dan aturan hukum yang berlaku.
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sidang Praperadilan Mahasiswa Papua, Obby Kogoya, yang dijadikan tersangka oleh kepolisian digelar di Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Yogyakarta, pada hari Selasa (22/8).
Pengacara Obby dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Emanuel Gobay mengatakan, gugatan praperadilan ini penting untuk mengoreksi proses penangkapan Obby.
Gobay juga meyakini, penangkapan itu telah melanggar asas kemanusiaan dan aturan hukum yang berlaku.
Gobay mengatakan, polisi tidak memiliki dua alat bukti yang sah dalam penetapan tersangka. Menurutnya penetapan ini juga tidak didahului pemeriksaan awal sebagai calon tersangka atau saksi.
“Dalam proses penangkapan itu ada peristiwa penganiayaan, pengeroyokan dan bahkan penyiksaan, dan itu masuk dalam kategori pelanggaran HAM. Dan kita tahu bahwa kemarin dalam investigasinya, Komnas HAM telah melaporkan bahwa dalam proses penangkapan itu ada penyiksaan, jadi indikasi pelanggaran HAM sangat jelas di situ," katanya seperti dikutip dari voaindonesia.com, hari Senin (22/8).
Ditunda Hingga Hari Selasa (23/8)
Setelah LBH Yogyakarta - selaku kuasa hukum Obby Kogoya - membacakan gugatan praperadilan dalam sidang perdana tersebut, hakim ketua kemudian menunda sidang perdana praperadilan hingga hari Selasa (23/8). Menurut majelis hakim pihak termohon - yakni Polda DIY - belum mempersiapkan jawaban atas gugatan.
“Kita sepakati bersama saja kapan pembacaan jawaban dari termohon, agar tidak ada lagi alasan sidang mundur,” kata Hakim Ketua, Muhammad Baginda Rajoko Harapan, seperti dikutip dari harianjogja.com, hari Senin (22/8).
Menurut Hakim Ketua, jawaban seharusnya sudah dipersiapkan, pasalnya kedua pihak juga telah menerima berkas materi gugatan. “Jawaban dari termohon bisa berbentuk berkas tulisan ataupun secara lisan,” katanya.
Sementara itu, kuasa hukum dari pihak termohon, Heru Nurcahya, mengatakan pihaknya siap memberikan jawaban atas gugatan praperadilan pada sidang selanjutnya. Menurut dia, kepolisian dalam menetapkan pemohon sebagai tersangka sudah sesuai berdasarkan pada KUHP.
“Karena memang hari ini kan agenda sidang hanya pembacaan gugatan. Kita akan sampaikan bagaimana proses penetapan tersangka besok saat sidang selanjutnya,” ujar dia.
Sidang praperadilan akan kembali digelar pada hari Selasa (23/8) besok dengan agenda pembacaan jawaban dari pihak termohon.
Ketegangan di Asrama Papua
Sebelumnya Obby Kogoya dituduh melakukan tindakan kekerasan terhadap polisi, yang kemudian menangkapnya tidak jauh dari asrama Papua di Yogya. Peristiwa pada 15 Juli 2016 lalu itu merupakan bagian dari ketegangan selama dua hari berturut-turut di sekitar kawasan asrama Papua.
Ketika itu, para mahasiswa rencananya akan menggelar aksi menuntut hak penentuan nasib sendiri, tetapi polisi mencegah mereka ke luar asrama. Obby Kogoya berniat bergabung dengan rekan-rekannya di asrama, tetapi justru ditangkap saat masih dalam perjalanan.
Dalam foto-foto penangkapan yang beredar, tampak Obby diinjak dan menjadi korban aksi sejumlah aparat. Namun, Obby kemudian justru dijadikan tersangka.
Obby Kogoya disangka melanggar Pasal 212 KUHP tentang perbuatan melawan polisi dengan kekerasan, juncto Pasal 213 ayat 1 dan Pasal 351 tentang penganiayaan.
Sidang pertama ini berlangsung sekitar dua jam dengan materi pembacaan gugatan oleh empat pengacara dari LBH Yogya.
Dihadiri Aktivis Gerekan Kemerdekaan Papua
Aktivis gerakan kemerdekaan Papua yang juga eks tahanan politik, Filep Jacob Samuel Karma juga hadir di persidangan ini. Filep dibebaskan oleh Presiden Jokowi pada November 2015 setelah dipenjara 14 tahun.
Sebelumnya Filep menolak grasi yang diberikan Presiden, karena menganggap pemberian grasi bermakna dia mengakui telah berbuat salah.
Filep mengatakan datang sebagai orangtua yang menengok anak-anaknya di Yogyakarta. Secara tegas dia menolak anggapan bahwa tuntutan kemerdekaan bangsa Papua adalah sebuah kesalahan.
Jika memang Indonesia tidak bisa menerima bangsa Papua, kata Filep, ada baiknya dilepaskan saja. Tentang bagaimana masa depan Papua nanti, dia menilai itu bukan lagi menjadi urusan Indonesia.
“Dikatakan bahwa kita ini saudara sebangsa setanah air, tapi kalau kami mendapatkan perlakuan rasis, terus untuk apa kita hidup bersama, dalam satu rumah tangga. Apakah kami dianeksasi, kemudian dianiaya dan dibunuh sepanjang hidup kami?” kata Filep.
“Saya kira kalau Indonesia sebuah negara yang ber-Pancasila, beradab, berketuhanan, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, ya sudah kalau tidak bisa menerima orang Papua, ya sudah lepaskan saja provinsi kami," dia menambahkan.
Mekanisme praperadilan akan memakan waktu sekitar satu minggu dengan agenda sidang setiap hari.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...