Simposium Tragedi 65 Diharap Akhiri Polemik
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Simposium Nasional Tragedi 65 “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" diharapkan dapat menjadi akhir dari peristiwa yang penuh polemik selama lima puluh tahun tersebut.
"Penyelesaian kasus 1965 bukan masalah yang sederhana. Penyelesaiannya harus mampu mengurai kebenaran peristiwa sehingga tidak terus berlanjut," kata Ketua Panitia Pelaksana Suryo Susilo melalui siaran pers di Jakarta, hari Minggu (17/4).
Pemerintahan Jokowi-JK tahun ini bertekad menyelesaikan konflik dan trauma serta mendudukkan peristiwa 1965 yang sebenarnya dalam perspektif sejarah.
Simposium nasional membedah tragedi 1965 juga sangat penting karena untuk pertama kali dalam sejarah bangsa Indonesia diselenggarakan secara bersama oleh pemerintah bersama Komnas HAM.
Simposium akan dibuka Menko Polhukam dan dihadiri para menteri terkait, dengan peserta dari keiompok Korban 1965 dan sebelum peristiwa 1965. "Simposium ini, yang akan diadakan 18-19 April di Jakarta, mengundang ahli, pelaku, saksi, korban dan pengamat. Mereka akan berdialog dan berdiskusi untuk mencari titik temu menyelesaikan peristiwa ini," kata dia.
Bukti-bukti pelanggaran HAM berat tragedi 1965 sudah diumumkan oleh Komnas HAM pada tahun 2012.
Begitu pula kajian akademik telah dilakukan oleh berbagai kalangan, dan sudah saatnya untuk membedah semua itu bersama dengan para pelaku sejarah yang difasilitasi pemerintah.
"Pemerintah dengan rendah hati memahami bahwa kita selama ini belum sungguh-sungguh menjalani proses penyelesaian kasus ini," kata dia.
Dia mengaakan sebuah bangsa yang beradab ditandai dengan penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan. Sebuah bangsa yang besar menjalankan kehidupannya berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengembangkan cara pandang yang sehat dan proposional terhadap masa lalu.
Hal-hal tersebut sangat penting membentuk tatanan moral dan etika hidup bersama demi kepentingan masa depan anak bangsa.
"Mari kita bersama-sama bergandengan tangan menyelesaikan tragedi 1965, memberikan contoh yang baik kepada generasi penerus bangsa," kata dia.
KontraS dan HRW Mendukung Jika Ada Rehabilitasi
Sebelumnya Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan pihaknya akan mendukung Simposium "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" apabila ada bahasan mengenai rehabilitasi korban dan dampak dari tragedi tersebut.
"Simposium akan didukung apabila ada rehabilitasi. Menurut kerangka acuan, jelas bahwa simposium hanya untuk membahas peristiwa 1965-1966 di sektor historis. Hanya ada satu sesi yang membahas bagaimana mengatasi permasalahan 1965-1966," kata Haris dalam konferensi pers di Jakarta, hari Rabu (13/4).
Menurut dia, simposium belum mampu membahas dampak lanjutan yang terjadi setelah peristiwa yang terjadi di 1965, terutama dari segi psikologis korban dan situasi politik pascatragedi 1965.
"Peristiwa 1965 tidak hanya soal apa yang terjadi pada tahun tersebut, tapi peristiwa tersebut memutarbalikkan semua bangunan sosial politik yang menyebabkan militer dominan dalam waktu yang lama dan masuk ke sejumlah sektor yang hampir tidak menyisakan ruang untuk kelompok pro-demokrasi," kata dia.
Peristiwa 1965, menurut Haris, memberikan dampak buruk berupa politik Orde Baru yang lekat dengan praktik kekerasan, penculikan dan penghilangan orang.
Namun, Haris mengatakan ada sejumlah kemajuan untuk pemulihan hak korban 1965-1966 dalam 18 tahun transisi politik di Indonesia.
Misalnya pembebasan tahanan politik ketika era kepemimpinan BJ Habibie, perubahan peraturan perundang-undangan yang memberikan hak politik korban stigma, dan mahkamah agung memberikan hak untuk mencabut sejumlah peraturan yang menjamin diskriminasi.
"Masalahnya, pengalaman Kontras memberikan pembelajaran bahwa mereka (korban) sudah dibebaskan tapi belum mengalami kebebasan," kata Haris.
Lembaga swadaya masyarakat Human Right Watch mendorong proses pengungkapan kebenaran (truth-telling process) mengenai tragedi pembantaian 1965-1966 jelang pelaksanaan simposium.
"Membuka kebenaran mengenai tragedi 1965-1966 penting untuk mengungkap kejahatan agar tidak diabaikan. Banyak korban yang masih membawa sejarah kelam terkait suku, wilayah, dan agama, dan kita perlu menjembatani proses penanganan kasus ini," kata Direktur Eksekutif Human Right Watch (HRW) Kenneth Roth.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya menyatakan akan fokus pada upaya rekonsiliasi kepada korban tragedi 1965-1966.
Namun, menurut Roth, rekonsiliasi akan menjadi salah kaprah apabila tidak dibarengi dengan membicarakan kebenaran yang terjadi atas kasus tersebut.
Selain itu, Kontras juga mengungkapkan kekecewaan pada Presiden Joko Widodo karena belum menepati janji dalam Nawacita untuk membentuk Komite Kepresidenan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang berkeadilan dan bermartabat.
"Kenapa kecewa karena dua tahun tidak ada apa-apa, malah bikin simposium tapi hanya soal 1965-1966. Lalu Presiden janjinya mana? Kok cuma bikin simposium. Kalau bikin simposium pusat studi di kampus juga bisa," kata dia.
Rekomendasi untuk Pemerintah
Salah satu arsitek yang mendorong pelaksanaan simposium tersebut adalah Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto.
Sidarto mengatakan hasil akhir simposium ini diharapkan memberikan rekomendasi bagi pemerintah untuk menyelesaikan kasus tersebut. (Ant)
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...