Situasi Bali Belum Pulih setelah Nyepi
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Situasi di beberapa wilayah di Provinsi Bali masih belum normal sehari setelah umat Hindu menjalani ritual Hari Raya Nyepi.
Perkantoran dan sekolah-sekolah di Pulau Dewata masih tutup, sehingga situasi jalan-jalan pun pada Selasa (1/4) pagi terpantau lancar dan tidak ada kemacetan.
Selain karena umat Hindu masih menjalani ritual Ngembak Geni, belum normalnya situasi di Bali juga disebabkan karena para pendatang masih berada di kampung halaman masing-masing. Hal itu terlihat dari situasi dan kondisi di ruas jalan raya yang menghubungkan Pelabuhan Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, dengan Kota Denpasar, yang bebas dari kemacetan.
Perlintasan utama kendaraan dari Pulau Jawa itu tampak lengang. "Tidak sampai dua jam sudah tiba di Denpasar," kata I Made Candra yang baru tiba di Denpasar, setelah melakukan perjalanan dari Negara, Kabupaten Jembrana.
Demikian pula dengan situasi di Jalan Gatot Subroto, Denpasar. Tidak ada kemacetan berarti di jalan utama yang menghubungkan Denpasar dengan Gianyar, Semarapura, Pelabuhan Padangbai, dan Amlapura itu.
Kendaraan masih didominasi sepeda motor warga sekitar yang hendak berbelanja kebutuhan rumah tangga setelah sehari semalam mengisolasi diri di dalam rumah selama Hari Raya Nyepi, Senin (31/3). Malam sebelumnya Bali gelap gulita.
Sejak matahari pertama kali terbit di ufuk timur pada Tahun Caka 1936, masyarakat Bali mulai ke luar rumah. Mesin kendaraan bermotor dihidupkan lagi, baik untuk sekadar pemanasan maupun dijalankan untuk berbagai keperluan.
Perkantoran dan sekolahan baru akan dibuka Rabu (2/4). Pendatang pun diperkirakan mulai kembali ke Bali Selasa sore. Kegiatan kampanye Pemilu 2014 yang ditiadakan selama lima hari baru akan digelar lagi Rabu (2/4).
Nyepi
Aktivitas warga mulai berkurang sejak malam Minggu (30/3) malam pascaupacara pawai Ogoh-ogoh. Sejak Senin (31/3) pukul 05.00 Wita Pulau Bali benar-benar sepi total, seperti tanpa penghuni. Masing-masing umat Hindu di Bali merayakan dan melaksanakan tapa brata penyepian.
Ketua Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) Bali I Gusti Ngurah Sudiana seperti dikutip beritadewata.com menjelaskan Nyepi adalah konsep budaya yang dijiwai Agama Hindu sebagai wujud keselarasan manusia dengan alam.
Menurut I Gusti Ngurah Sudiana, Hari Raya Nyepi dilaksanakan setiap tahun sekali pada Penanggal Apisan Sasih Kedasa atau sehari setelah bulan mati (tilem) dalam kalender Bali. Pada pelaksanaannya, masing-masih daerah di Bali tidaklah sama. Semisal dalam pembuatan Ogoh-ogoh tidak semua desa adat membuat Ogoh-ogoh untuk menyambut hari Raya Nyepi.
"Namun makna yang terkandung dalam perayaan Nyepi adalah sama, yaitu kita melakukan apa yang disebut Catur Brata Penyepian (empat jenis tapa brata dalam Hari Raya Nyepi)," kata Sudiana, Senin (31/3).
Keempat jenis tapa brata yang dimaksud adalah pertama Amati Geni yaitu larangan untuk menyalakan api. Api di sini lebih ditekankan pada api yang ada dalam diri, yaitu api yang dapat membakar nurani dan pikiran sadar seperti marah atau iri hati dan berpikiran tidak baik.
"Karena kita tahu, penyebab ketidakharmonisan dalam hidup disebabkan oleh sifat marah atau iri dengki. Untuk itu, masyarakat melakukan amati geni dengan wujud tidak menyalakan api," ia menjelaskan.
Kedua, Amati Karya, artinya tidak boleh bekerja.
"Dalam melaksanakan amati karya ini, kita ditekankan untuk tidak bekerja. Artinya, dengan tidak bekerja kita bisa merenung dan mengintrospeksi diri atas kesalahan-kesalahan yang pernah kita perbuat selama ini, selain itu kita diajarkan untuk mengistirahatkan pikiran, agar tahun depan bisa lebih baik dan bijaksana dalam bertindak," kata Sudiana.
Satu hal penting yang tersirat dalam amati karya menurut I Gusti Ngurah Sudiana adalah dengan tidak bekerja selama sehari, alam dapat bernapas lega. Alam dapat memproduksi udara segar untuk keesokan harinya.
Yang ketiga adalah Amati Lelungan. Artinya tidak diperkenankan melakukan perjalanan atau melancong. Dengan tidak melancong atau bepergian, alam akan tenang dari gangguan hidup manusia yang sehari-hari mengotori bumi pertiwi ini.
Keempat Amati Lelangunan. Artinya tidak diperkenankan untuk menghibur diri. Jika manusia larut dalam hiburan, mereka akan lupa tujuan hidup yang utama, yaitu kembali kepada Tuhan, kembali kepada Sang Hyang Widhi, sang Pencipta.
I Gusti Ngurah Sudiana menyimpulkan dari keempat tapa brata penyepian tersebut manusia saat Hari Nyepi adalah mati suri atau melakukan hibernasi. Hal itu berdampak sangat baik bagi alam.
"Bayangkan, jika sehari saja kita tidak mengeluarkan polusi, bumi ini sudah berterima kasih. Maka akan timbul rasa keseimbangan manusia dengan alam," kata dia.
PHDI Bali berharap Nyepi dapat menginspirasi dunia untuk melakukan hal yang sama. Nyepi bukanlah semata-mata dari ajaran agama Hindu. Menurut Sudiana, Nyepi adalah suatu kearifan budaya Bali, namun dijiwai dengan agama agar terlihat kesakralannya. Nyepi adalah suatu konsep keselarasan manusia dengan alam. Siapa pun bisa melaksanakan Nyepi. Bukan hanya untuk orang Bali atau Orang Hindu, Sudiana mengatakan. (Ant/beritadewata.com)
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...