Sri Sultan Mantu: Siraman, Tantingan, dan Midodareni
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Setelah upacara Nyantri, kedua calon mempelai Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu dengan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro, Senin (21/10) melakukan siraman.
Kata Siraman berasal dari kata siram yang berarti mandi. Siraman mengandung arti memandikan calon mempelai yang disertai dengan niat membersihkan diri agar menjadi bersih dan murni atau suci lahir dan batin. Upacara Siraman akan dilakukan di Bangsal Sekar Kedhaton untuk calon mempelai wanita, dan di Bangsal Kasatriyan untuk calon mempelai pria.
Tantingan: Menanyakan Kemantapan Hati
Setelah Siraman, upacara selanjutnya adalah Tantingan. Tantingan akan dilakukan di Emper Bangsal Prabayeksa pada malam hari setelah shalat Isya. Dalam upacara ini, Sultan didampingi Permaisuri dan putri-putrinya, menanyakan kemantapan hati serta kesiapan calon mempelai wanita untuk menikah dengan pria yang sudah meminangnya.
Tantingan akan disaksikan oleh Penghulu Keraton, Abdi Dalem Pemetakan, dan petugas KUA Kecamatan Keraton.
Dahulu kala, upacara Tantingan ini dijadikan sarana untuk memberitahukan siapa yang akan menikahi putri Sultan. Sebab, dulu calon mempelai pria dengan calon mempelai wanita belum saling mengenal karena pernikahan dilaksanakan melalui proses perjodohan.
Seiring berkembangnya zaman, adat perjodohan mulai memudar semenjak era Sultan HB IX. Saat ini, upacara Tantingan dimaksudkan untuk menanyakan kemantapan dan kesiapan calon mempelai wanita untuk dinikahkan. Upacara Tantingan ini tetap dilakukan dengan tujuan untuk melestarikan kebudayaan Keraton dan juga akan dilakukan dengan bahasa Bagongan (bahasa Keraton).
Midodareni: Menanti Datangnya Bidadari
Setelah Tantingan, acara dilanjutkan dengan Midodareni. Midodareni berasal dari kata dasar widodari yang berarti bidadari yaitu putri dari surga yang sangat cantik dan sangat harum baunya. Midodareni adalah malam terakhir masa lajang bagi kedua calon mempelai. Di sini, kedua calon mempelai akan ditemani oleh teman-teman dan kerabatnya.
Midodareni akan dilakukan di Bangsal Kasatriyan untuk calon mempelai pria, dan di Sekar Kedhaton untuk calon mempelai wanita. Malam Midodareni ini akan digunakan Sultan untuk mengunjungi kedua calon mempelai sambil meninjau lokasi dan mengecek apakah semua sudah siap untuk acara esok hari.
Sultan bersama Permaisuri serta kerabat akan menemui calon mempelai pria dan keluarganya di Bangsal Kasatriyan. Di Bangsal Kasatriyan ini, kedua calon besan akan berbincang untuk saling mengakrabkan diri. Seusai berbincang, Sultan akan menengok kamar pengantin di Bangsal Kasatriyan dan melihat apakah semua sudah beres.
Selesai mengecek persiapan di Bangsal Kasatriyan, Sultan bersama Permaisuri dan rombongan kemudian mengunjungi calon mempelai wanita ke Sekar Kedhaton.
Calon mempelai wanita ditemani dengan keluarga dan beberapa Abdi Dalem wanita berada di Bangsal Sekar Kedhaton. Sama halnya di Bangsa Kasatriyan, di sini Sultan juga melihat kesiapan calon mempelai wanita dan ubarampe untuk pernikahan. Layaknya orang tua pada umumnya, Sultan ingin pernikahan putrinya berjalan sempurna, oleh karena itu Sultan menyempatkan untuk melihat langsung persiapan pernikahan putrinya.
Pada malam Midodareni, calon mempelai putri harus tidur setelah jam 12 malam untuk menanti datangnya bidadari. Bidadari ini akan menganugerahkan kecantikan kepada sang calon mempelai. Makna Midodareni sendiri adalah untuk menyucikan diri dan menyiapkan mental untuk acara pernikahan.
Upacara Midodareni berakar dari cerita legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan. Dewi Nawangwulan adalah seorang bidadari dari khayangan yang memiliki anak seorang manusia. Dewi Nawangwulan berjanji akan turun ke bumi kelak jika anaknya yang bernama Dewi Nawangsih menikah. Dengan demikian, upacara Midodareni diambil dari cerita turunnya Dewi Nawangwulan untuk menemui anaknya pada saat upacara Midodareni. (kratonwedding.com)
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...