Terapi LGBT Jadi Tren di Kalangan Yahudi Ortodoks
YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM - Sebuah kelompok terapi Yahudi Amerika terkemuka, yang diklaim dapat mengubah seorang gay menjadi orang normal atau heteroseksual, kini menjadi tren di Israel.
Sebelum membuka praktiknya di Israel, pengadilan New Jersey Amerika Serikat memerintahkan kelompok terapi tersebut menutup praktiknya pada bulan Desember 2015.
Kementerian Kesehatan Israel menyarankan kelompok terapi yang disebut "konversi gay" atau terapi "reparatif", untuk berhati-hati membuka praktiknya. Karena meskipun secara ilmiah diragukan dan berpotensi membahayakan, Kemenkes Israel mengatakan tidak ada hukum yang membatasi praktik mereka itu.
Di Israel, praktisi LGBT mengatakan layanan ini banyak diminati terutama oleh orang-orang Yahudi Ortodoks yang mencoba untuk mengurangi kecenderungan penyuka sesama jenis agar dapat menikahi wanita dan membesarkan keluarga tradisional menurut nilai-nilai agama konservatif mereka.
Menurut Yeshiva Inclusion Project – sebuah kelompok yang menasihati calon mahasiswa gay – klien mereka juga mencakup pemuda Yahudi dari Amerika Serikat dan negara-negara lain yang mengikuti program studi pasca-sarjana di seminari Ortodoks di Israel.
“Setengah dari semua siswa yang mengikuti seminari itu diwajibkan menemui praktisi terapi reparatif untuk mengungkapkan apakah mereka memiliki perasaan homoseksual,” ungkap Yeshiva Inclusion Project sebagaimana dikutip abcnews, hari Kamis (4/2).
Meningkatkan Harga Diri
Sementara itu, para pendukung terapi ini di Israel mengatakan terapi tidak "mengubah" klien, tetapi meningkatkan harga diri dan maskulinitas, yang mereka katakan dapat mengurangi homoseksualitas. Terapis mengatakan pekerjaan mereka lebih diterima di Israel daripada di AS.
"Karena ada kehadiran agama yang kuat seperti di sini (Israel), dan saya pikir kebenaran politik adalah tidak lazim. Ada keterbukaan tentang hal itu, tentang jenis terapi di sini," kata Dr Elan Karten, seorang psikolog AS dan Yahudi Ortodoks terlatih, yang telah merawat sekitar 100 orang dengan kecenderungan homoseksual sejak ia membuka praktik di Yerusalem delapan tahun lalu.
Beberapa negara bagian di AS telah melarang terapi tersebut untuk anak di bawah umur. JONAH (Jews Offering New Alternatives for Healing/Yahudi Menawarkan Alternatif Baru untuk Penyembuhan), ditutup karena melanggar undang-undang penipuan konsumen New Jersey dengan mengklaim terapi bisa "menyembuhkan" homoseksualitas.
“Diperkirakan 20 sampai 30 psikolog berlisensi dan pekerja sosial dan 50 terapis non-lisensi berlatih beberapa bentuk terapi konversi di Israel,” kata Rabbi Ron Yosef dari Orthodox Gay Organization Hod.
Rabbi Ron Yosef merupakan orang yang menyerukan pengesahan undang-undang terhadap terapi tersebut. Menurut dia, para gay di Israel yang dihubungi JONAH dirujuk ke beberapa terapis tersebut.
"Saya sangat prihatin," kata Chaim Levin, seorang mantan klien JONAH di AS dan penggugat dalam gugatan terhadap hal itu di New Jersey.
"Ini mengekspor kebencian dan ilmu sampah ke Israel. Orang perlu tahu," kata Chaim Levin.
Organisasi medis terkemuka di Amerika Serikat mengatakan di sana (JONAH) tidak ada bukti perubahan orientasi seksual sebagai upaya yang efektif, dan terapi justru dapat memperkuat kebencian diri, depresi dan menyakiti diri sendiri.
Sementara itu, The Israel Psychological Association (IPA) mencapai kesimpulan yang sama dalam sebuah makalah pada 2011 yang kemudian diadopsi Kementerian Kesehatan Israel pada akhir 2014. Tetapi Asosiasi juga mendukung klaim praktisi, bahwa "kebenaran politik" mungkin mencegah pendanaan dan publikasi penelitian yang meneliti potensi efektivitas terapi ini.
“Setidaknya ada dukungan empat kelompok pria untuk bertemu secara mingguan di Yerusalem,” kata psikoterapis Yerusalem, Adam Jessel, yang telah bekerja dengan ratusan orang untuk mengatasi homoseksualitas mereka. Beberapa organisasi Israel juga turut mempromosikan terapi tersebut.
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...