Terjadi Kebrutalan pada Anak-anak di Afrika Tengah
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM - Terjadi kebrutalan terhadap anak di Republik Afrika Tengah (CAR) pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Masyarakat dunia harus menggunakan semua alat yang ada untuk menghentikan konflik, kata Dewan Keamanan PBB memperingatkan, hari Rabu (22/1) di New York.
Kebrutalan itu menyebabkan anak-anak menjadi cacat , terbunuh dengan cara dipenggal, dan menjadi korban kekerasan seksual yang merajalela di sana. "Krisis ini telah terjadi lebih dari setahun dan kami sudah kehabisan waktu untuk mencegah kekerasan yang terus meningkat," kata wakil Khusus PBB untuk Anak-anak di Afrika Tengah, Leila Zerrougui kepada wakil 15 negara anggota Dewan Keamanan dalam kunjungan ke miskin yang dilanda perang saudara bulan lalu.
"Satu-satunya pilihan kami saat ini adalah meningkatkan respon kami dengan kuat, segera dan mendesak tindakan,” kata dia.
Hampir satu juta juta orang meninggalkan rumah mereka dalam 13 bulan kekerasan, dan setengahnya adalah anak-anak. Sebanyak 6.000 anak saat ini mungkin bergabung dengan berbagai angkatan bersenjata dan kelompok-kelompok. Negara ini terjebak dalam lingkaran dendam yang telah menghancurkan tatanan sosial dan merusak kepercayaan di antara masyarakat untuk generasi mendatan, kata dia.
Kesaksian terbaru dalam serangkaian laporan menunjukkan CAR yang makin suram. Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki -moon dua hari lalu menyebutkan terjadi “a crisis of epic proportions" atau proporsi kepahlawanan. Hari Rabu, Komisi Internasional , seperti yang diminta oleh Dewan Keamanan mengumumkan untuk menyelidiki atas semua pelanggaran HAM dan memastikan pelakunya bertanggung jawab.
Anggota tim itu termasuk mantan menteri luar negeri Meksiko, Jorge Castaneda, pengacara hak asasi manusia Mauritania, Fatimata M'Baye dan Bernard Acho, seorang pengacara dari Kamerun dan Wakil Kepala Jaksa untuk Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda yang akan memimpin komisi penyelidikan ini.
Setelah Populasi Mengungsi
Kondisi CAR sekarang digambarkan memprihatinkan dengan ribuan orang telah meninggal dan 2,2 juta atau sekitar setengah penduduk negara itu membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Konflik terjadi antara gerilyawan Seleka yang didominasi Muslim yang melancarkan serangan pada bulan Desember 2012. Konflik berkembang menjadi lebih sektarian ketika milisi yang didominasi warga Kristen yang dikenal sebagai anti Balaka (anti parang) mengangkat senjata melawan Seleka.
"Saya menyaksikan komunitas ini diadu satu sama lain, dan rakyat melarikan diri dan mencari perlindungan di sekitar gereja dan masjid," kata Zerrougui. "Mereka hidup dalam takut diserang, bahkan ketika harus menguburkan kerabat mereka yang meninggal. Seluruh desa telah dibakar dan sedang dibakar saat kita bicara di sini hari ini."
Korban dan Pelaku
Dia mencatat bahwa anak-anak telah secara langsung diserang, dibunuh dan dipenggal tidak hanya di Bangui, ibu kota, tetapi juga di kota-kota provinsi Buar, Bossangoa dan Bozoum. "Selama kunjungan, saya menyaksikan pemuda yang telah mengangkat senjata. Mereka telah dimanipulasi oleh kedua belah pihak dan dipisah atas dasar garis agama. Mereka telah menjadi korban maupun pelaku kekerasan sektarian yang sedang berlangsung," kata dia menambahkan.
"Sekolah dan rumah sakit telah diserang dan dijarah, tenaga medis telah berulang kali diancam dan menjadi target kebrutalan di mana-mana di negara ini, mengakibatkan infrastruktur sosial yang sudah rapuh menjadi lengkapnya kehancuran pelayanan dasar," kata dia.
Zerrougui menekankan perlunya penguatan pasukan perdamaian yang dipimpin International Support Misi ke CAR (MISCA), keterlibatan pasukan Perancis , yang dikenal sebagai SANGARIS, dan penguatan mendesak Kantor PBB Terpadu untuk Peacebuilding (BINUCA).
Dia menyerukan perlunya pesan yang kuat bahwa pelaku kejahatan harus bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Kekerasan seksual terus terjadi. Tercatat antara Januari dan November 2013, setidaknya 4.530 kasus kekerasan dilakukan oleh orang-orang bersenjata, sebagian besar diyakini oleh Seleka.
"Tim juga menerima laporan kekerasan seksual oleh milisi anti Balaka dan Seleka selama masa pembalasan," kata dia. "Misi ini juga menegaskan bahwa kawin paksa kadang-kadangdilakukan pada anak-anak atau kawin kontrak yang dilakukan oleh elemen Seleka."
Ada banyak tuduhan bahwa pengungsi perempuan di kamp-kamp mengalami kekerasan seksual yang berkaitan dengan konflik, dan korban takut mengadukan karena adanya kekerasan lanjutan dari kelompok-kelompok ini .
"Masyarakat internasional harus meningkatkan koordinasi upaya yang dilakukan di CAR," kata dia menegaskan. "Penyediaan peralatan sederhana seperti hotline darurat dan mekanisme respon cepat yang terkoordinasi diyakini dapat menyelamatkan nyawa." (un.org)
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...