Tinggalkan Ateisme, Chai Ling Pakai Perspektif Kristiani Ubah Tiongkok
BEIJING, SATUHARAPAN.COM - Pada tahun 1989, beberapa mahasiswa pemberani Tiongkok mengguncang dunia dengan melakukan protes monumental di Lapangan Tiananmen.
Peristiwa tragis itu ditandai dengan pembantaian para aktivis mahasiswa dan sipil, yang berusaha maju untuk memblokir tentara yang ingin menyerbu.
Satu-satunya perempuan di antara pemimpin unjuk rasa mahasiswa itu adalah Chai Ling, kala itu masih mahasiswa muda.
Lahir tahun 1966 di Rizhao, Shadong, orang tuanya bekerja sebagai dokter dan ia tumbuh sebagai pemudi yang cerdas.
Mulai kuliah pada usia 17, Ling meraih gelar sarjana muda dalam psikologi. Pada tahun 1989, dia bersama dengan beberapa mahasiswa lain, memulai serangkaian aksi mogok makan sebagai bagian dari protes Tiananmen.
Setelah kematian Hu Yaobang, sekjen Partai Komunis Tiongkok kala itu, aksi mereka semakin besar untuk mendorong momentum revolusi sosial. Chai Ling sebagai salah seorang pemimpin mahasiswa, oleh para pengikutnya dinilai sebagai tokoh radikal.
Dan setelah militer Tiongkok membantai sejumlah pemrotes, Ling, bersama dengan beberapa rekannya ditempatkan pada daftar orang paling dicari. Mereka dipaksa untuk meninggalkan Tiongkok.
Ling akhirnya melarikan diri ke Amerika Serikat, melanjutkan pendidikan di sana, menikah dan memulai mendirikan sebuah perusahaan perangkat lunak bersama suaminya yang berkebangsaan AS.
Kendati sudah lama bermukim di AS, cintanya pada Tiongkok masih merupakan sumber pendorong utamanya untuk berhasil. Ia berharap uang yang dihasilkan melalui perusahaan piranti lunaknya dapat disumbangkan untuk mendorong perubahan dan reformasi di negara kelahirannya.
"Saya sempat terjebak pada gagasan bahwa kalau saya dapat menjadi seorang pengusaha yang sangat sukses, seperti Bill Gates, saya bisa menghasilkan banyak uang dan mendirikan yayasan raksasa, maka saya bisa mengatasi masalah Tiongkok dan membebaskan negara itu," kata Ling.
Ternyata gagasan itu tak memuaskannya.
Upayanya untuk memenangkan dua nominasi penghargaan Nobel untuk perdamaian, ternyata juga ia anggap bukan resolusi bagi perubahan sosial di Tiongkok sebagaimana ia harapkan.
Salah satu kebijakan Tiongkok yang lebih brutal yang menjadi pusat perhatian Ling adalah Kebijakan Satu Anak. Apalagi setelah Ling mendengarkan testimoni seorang ibu yang dipaksa melakukan aborsi.
Seperti para komunis Tiongkok lainnya, Ling dibesarkan sebagai seorang ateis. Namun setelah mendengar kesaksian wanita itu, Ling merasa perjuangan hidupnya untuk mengubah Tiongkok tak ada pengaruhnya. Jika mengandalkan kekuatannya sendiri ia merasa tidak akan mungkin mengubah Tiongkok. Ia menyadari, hanya Kekuatan Agung yang dapat membantu.
Dengan kesaksian dan bantuan dari beberapa teman yang sangat dekat, Ling kemudian menjadi Kristen pada bulan Desember 2009. Sejak itu, pendekatan Ling terhadap persoalan Tiongkok berubah secara radikal.
Ia tidak lagi memfokuskan diri pada gagasan membanjiri dana bagi program-program sosial di Tiongkok, tetapi menjadi membawa Injil ke negara itu.
Dengan mendorong warga Tiongkok merangkul kasih dan martabat manusia yang diajarkan oleh Alkitab, Ling percaya dia akan membawa harapan kepada mereka yang tidak memiliki harapan.
Dengan langkah barunya ini, ia juga yakin tengah melakukan reformasi terhadap Tiongkok dengan memperkenalkan perspektif Kristiani yang berfokus pada nilai-nilai manusia sebagai ciptaan Tuhan dan bukan sebagai bagian dari mesin sebagaimana yang diinginkan oleh komunisme Tiongkok.
Sejak tahun 2009, rata-rata pertumbuhan tahunan Kekristenan di Tiongkok tercatat 7 persen dan akan membawa negara itu menjadi negara Kristen terbesar di dunia.
Dan, hal ini dapat dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner di Tiongkok. Menurut sosiolog terkenal Rodney Stark, konversi warga Tiongkok menjadi Kristen telah melahirkan ledakan industrial dan saintifik yang belum ada presedennya dalam sejarah Asia.
Dia menjelaskan bahwa seluruh filosofi tradisional Timur adalah anti kemajuan dan selalu melihat ke belakang.Filosofi mereka tidak memotivasi orang untuk memahami sesuatu yang terjadi di alam semesta, justru menarik diri melakukan meditasi, bukan membuat teori tentang itu, seperti halnya ilmu Fisika dan Kimia.
Pada saat yang sama, menurut Stark, filsafat dan keyakinan tradisional itu tak cocok lagi dengan dunia modern yang dialami oleh rakyat Tiongkok. Dan itulah yang menjadi penjelas, mengapa kalangan terdidik Tiongkok yang paling awal untuk sudi bergabung.dengan tren yang tengah dibangun oleh tokoh seperti Chai Ling. (examiner.com)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...