Triade Cinta Sejati
Pada mulanya adalah cinta.
SATUHARAPAN.COM – Pada mulanya adalah cinta. Tepatnya cinta sejati. Tak ada chaos, apalagi kegelapan. Ia bak lentera di antara malam pekat, garam ’tuk dunia yang kian tawar. Ia adalah sebuah kepenuhan yang tak berkekurangan (tak lebay, juga tak alay). Hanya cinta saja, apa adanya.
Tetapi, seiring perjalanan waktu, hakikat cinta yang sesungguhnya mengalami pengaburan makna. Hilang dalam remang, lenyap dalam gelap. Yang tertinggal hanyalah: manusia dan pertanyaan tentang cinta sejati, serta usaha untuk mengejar kembali cinta sejati itu.
Cinta bisa menjadi sebuah fenomena dahsyat. Dahulu seorang imam bernama Valentinus harus mendekap di dalam penjara karena melawan kebijakan kaisar Roma yang melarang para prajuritnya untuk menikah. Ia kemudian dihukum mati Sang Kaisar dengan kemudian meninggalkan sepucuk surat cinta kepada kekasihnya Julia: ”From Your Valentine”.
Setelah jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501, publik international dibuat haru oleh pesan cinta mahadahsyat seorang pramugari, Khairunissa Haidar Fauzi, yang juga menjadi korban peristiwa naas tersebut kepada Sang Kekasih. ”I Love You From 38.000ft,” demikian tulisnya pada sebuah kertas yang dilekatkan pada jendela pesawat, dan diunggah ke media sosial dua minggu sebelum kecelakaan.
Apa sebenarnya cinta sejati itu? Hmm, cinta sejati itu semanis kisah cinta Anthony & Cleopatra, Romeo & Juliet, atau Habibie & Ainun; abadi, tanpa kepalsuan dan tak terlekang waktu. Maknanya pun sedalam arti kata ”You are my Sonia”, yang mampu mengubah hati seorang pembunuh dalam novel Crime and Punishment karya Fyodor Dostoyevsky.
Intensi cinta sejati itu kebahagian abadi, tak lekang oleh waktu. Seperti sebuah harmoni abadi yang mengalir lembut di setiap dimensi, lalu menerobos masuk ke relung hati paling dalam, dan terpancar keluar dalam bentuk alunan cinta, tanpa pernah direduksi ke dalam sebuah permainan.
Cinta sejati itu bisa terekspresi dalam senyum dan gelak tawa, laksana wajah sumringah sepasang suami-istri kala mendengar tangisan pertama bayi mereka. Juga bisa hadir dalam jeritan lara, bak suara tangisan jiwa Sawitri, meratapi kematian suaminya dalam kisah Mahabrata. Malaikat maut tak sanggup mengambil raga sang suami dari pelukan-nya. Dewa kematian pun takjub dengan kata-kata dahsyat Sawitri, ”dengan senang hati aku akan mengikuti dia, hidup atau mati, ke surga atau ke neraka!” Dewa pun menghidupkan kembali suaminya, dan hanya bisa berkata, ”bahkan aku, Sang Dewa Kematian, tidak berdaya melawan kekuatan cinta sejati yang bertakhta di hatimu".
Bagaimana mendapatkan dan mengekspresikan cinta sejati? Setidaknya, dimensi cinta sejati itu bernuansa jamak. Pertama, takaran besarnya cinta seseorang juga terlihat sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri: ”Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Mat. 22:39). Mengasihi diri sendiri tidak berarti egois atau individualistik, tetapi selalu berakar pada Imago Dei (citra Allah). Citra Allah mengandung konsekuensi praktis untuk selalu mengasihi diri. Merusak diri sama dengan merusak citra Allah sendiri.
Kedua, dimensi horisontal, yang menuntut manusia membagi dirinya dengan sesamanya, juga lingkungannya. Berkhianat terhadap orang yang kita cintai, sama dengan merusak hakikat cinta itu sendiri.
Ketiga, dimensi vertikal. Ada kekuatan yang melampaui cinta manusiawi, dan kekuatan itu adalah Dia yang memberikan kita anugerah cinta dan nafas kehidupan.
Singkatnya, cinta sejati itu itu bermula dari diri sendiri, terejawantah dalam relasi sosial dan ekologis, dan bersumber pada Dia, Sang Pemberi cinta itu sendiri.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...