Turki Berencana Hukum Mati Pelaku Kudeta
Hukuman mati tak lagi diterapkan sejak 2004. Jika Turki menerapkan kembali hukuman mati, konsekuensinya tidak bisa menjadi anggota Uni Eropa.
ANKARA, SATUHARAPAN.COM – Parlemen Turki akan menggelar perdebatan tentang hukuman mati bagi tersangka pelaku kudeta yang gagal pada Jumat (15/7). Perdana Menteri, Binali Yildirim mengatakan perlunya ‘’perdebatan yang tenang’’ untuk mengambil keputusan.
Masalah hukuman mati memanas setelah muncul tuntutan dari pendukung Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Sementara pihak Uni Eropa mengungkapkan keprihatinan atas rencana tersebut.
Yildirim menyatakan bahwa pemerintahnya tidak bisa tetap acuh tak acuh terhadap tuntutan untuk kembali menerapkan hukuman mati bagi kelompok pelaku kudeta. Namun dia menekankan bahwa masalah ini harus diperdebatkan di parlemen.
"Orang-orang meminta 'hukuman mati' dijalankan. Turki adalah negara hukum. Permintaan warga negara adalah perintah bagi kita. Tapi itu tidak akan bertindak buru-buru ketika masalah itu masih panas. Parlemen kita akan mempertimbangkan masalah ini. Kami akan bertindak sejalan dengan pendapat publik," kata Yildirim, hari Senin (18/7) seperti dikutip situs berita Turki, Hurriyet.
Pernyataan Yildirim muncul setelah pada hari Minggu (17/7) Erdogan berjanji bahwa Turki akan mempertimbangkan menerapkan kembali hukuman mati.
"Dalam demokrasi, keputusan dibuat berdasarkan apa yang orang-orang katakan. Saya pikir pemerintah kita akan berbicara dengan oposisi dan mengambil keputusan," kata Erdogan merespons tunturan warga di Istanbul yang menyerukan hukuman mati bagi pelaku kudeta.
"Kita tidak bisa menunda ini lagi karena di negeri ini, orang-orang yang melakukan kudeta harus membayar harga untuk itu," tambahnya setelah menghadiri pemakaman bagi korban kudeta.
Sebagai buntut kudeta yang gagal, muncul seruan untuk menerapkan kembali hukuman mati di Turki. Negara itu telah menghapuskan hukuman mati pada tahun 2004 di bawah reformasi yang bertujuan untuk memperoleh keanggotaan di Uni Eropa.
Keanggota di Uni Eropa
Penerapan kembali hukuman mati akan menciptakan masalah lebih lanjut antara Uni Eropa dan Turki dalam pembicaraan keanggotaannya yang selama ini terhenti.
Turki sebagai calon anggota Uni Eropa dilarang bergabung dalam blok itu jika menerapkan kembali hukuman mati, kata Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogeherini, pada hari Senin (18/7).
"Saya menegaskan... tidak ada negara dapat menjadi anggota Uni Eropa jika menerepkan hukuman mati," kata Mogherini.
Pemerintah Jerman juga berpendapat sama. Turki tidak dapat bergabung dengan Uni Eropa jika kembali menerapkan hukuman mati, juru bicara pemerintah Jerman pada hari yang sama.
"Jerman dan negara-negara anggota Uni Eropa memiliki posisi yang jelas tentang itu: kita menolak hukuman mati," kata juru bicara pemerintah jerman, Steffen Seibert, dalam konferensi pers.
Sebuah negara yang menerapkan hukuman mati tidak bisa menjadi anggota Uni Eropa, dan penerapan hukuman mati di Turki, berkonsekuensi akhir dari negosiasi aksesi, kata Seibert.
Hukuman mati masih berlaku dalam hukum di Turki sampai tahun 2004, namun Turki tidak pernah mengeksekusi terpidana sejak Oktober tahun 1984.
Sebelum tahun 1984, eksekusi biasanya terjadi pada masasetelah terjadi kudeta militer. Adnan Menderes, yang pernah menjabat sebagai perdana menteri, digantung pada 17 September 1961 setelah kudeta tahun 1960. Dia dihukum bersama dua anggota kabinet lainnya, Fatin Rustu Zorlu dan Hasan Polatkan.
Para pemimpin mahasiswa, Deniz GezmiÅ, Hüseyin Inan dan Yusuf Aslan digantung pada 6 Mei 1972 setelah memorandum militer 1971. Setelah kudeta tahun 1980, antara tahun 1980 dan 1984, total ada 50 orang, termasuk 27 aktivis politik, yang dieksekusi mati di Turki.
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...