Turki Minta Twitter Buka Kantor di Negaranya
TURKI, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Turki meminta Twitter supaya mendirikan kantor di negaranya agar memudahkan pemerintah jika memerlukan suatu koordinasi. Permintaan pemerintah terhadap perusahaan sosial media itu didasari baik Twitter dan Facebook yang banyak digunakan menyebarkan informasi selama protes anti-pemerintah baru-baru.
Menurut laporan media lokal, sudah belasan pengguna Twitter ditangkap pemerintah setelah melakukan aksi protes. Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan sebelumnya melalui tweet-tweet di Twitter disebut sebagai "momok".
Pada Kamis (27/6), Menteri Transportasi dan Komunikasi Binali Yildrim memberi alasan: "Ketika memerlukan informasi yang diinginkan, kami ingin mengetahui dan melihat siapa orangnya."
Twitter menolak untuk menanggapi permintaan pemerintah, sementara menurut orang yang dekat dengan Twitter mengatakan perusahaan tidak punya rencana dalam waktu dekat untuk membuka kantor di negara itu. Baik Twitter maupun Facebook saat ini tidak memiliki kantor cabang di Turki, namun Facebook memiliki staf di London yang khusus menangani Turki.
Kedua sosial media ini populer di Turki dan banyak dimanfaatkan oleh warga mencari informasi tentang aksi protes atau pada saat media massa Turki hanya mengabarkan sedikit atau malah tidak memberitakan sama sekali suatu peristiwa.
Sebelumnya pada Rabu, Mr Yildrim mengatakan: "Facebook telah berkoordinasi dengan otoritas Turki cukup lama ... Kami tidak memiliki masalah dengan mereka."
Komentar Yildrim ini menimbulkan spekulasi luas warga Turki dengan menuduh jaringan sosial media itu memberikan data-data pengunjuk rasa, namun perusahaan dengan cepat menyangkal. Dikatakan bahwa data pengguna sosial media tidak pernah diminta oleh pemerintah Turki untuk membocorkan data pengguna menyusul aksi protes besar yang terjadi.
Facebook telah menutup beberapa group dan pengguna akun Facebook yang terkait dengan aktivisme di Turki, tetapi hanya, katanya, karena mereka memakai "profil palsu".
"Secara umum, kita menolak semua permintaan data oleh pemerintah Turki dan mendorong pemerintah menempuh saluran hukum formal kecuali jika data itu mengindikasikan adanya ancaman langsung terhadap kehidupan atau anak-anak," katanya Twiiter dalam sebuah pernyataan.
Jaringan media sosial dan perusahaan teknologi lainnya sedang berusaha untuk membangun kembali kepercayaan dengan pengguna menyusul tuduhan bahwa sejumlah besar data diserahkan kepada Badan Keamanan Nasional AS di bawah program pengawasan yang dikenal sebagai Prism.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...