Uni Eropa Putuskan untuk Meningkatkan Perlindungan bagi Jurnalis
Parlemen UE membahas RUU Kebebasan Media, dan berdebat tentang penggunaan spyware dan penggunaan konten jurnalis di platform online.
BRUSSEL, SATUHARAPAN.COM-Anggota parlemen Uni Eropa pada hari Selasa (3/10) mendukung usulan untuk meningkatkan independensi jurnalistik, tetapi tidak mendorong larangan menyeluruh terhadap pemerintah yang memata-matai wartawan.
Undang-undang Kebebasan Media Uni Eropa diusulkan oleh Brussel tahun lalu di tengah meningkatnya tekanan yang dihadapi jurnalis di negara-negara seperti Hongaria dan Polandia.
Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi wartawan dari campur tangan politik, memungkinkan mereka menjaga kerahasiaan sumber dan memastikan pluralisme media di seluruh blok.
Pemungutan suara anggota Parlemen Eropa menentukan posisi parlemen mengenai rancangan undang-undang tersebut menjelang negosiasi dengan 27 negara anggota UE.
Salah satu isu yang paling kontroversial adalah pengecualian penggunaan spyware terhadap jurnalis.
Aktivis media mengkritik negara-negara Uni Eropa, yang dipimpin oleh Perancis, karena berupaya memperluas celah yang memungkinkan pihak berwenang memata-matai jurnalis atas nama “keamanan nasional”.
Parlemen berpandangan bahwa penggunaan spyware dibatasi sebagai “upaya terakhir” ketika jurnalis terlibat dalam kejahatan serius seperti terorisme atau perdagangan manusia, dan menyatakan bahwa hakim harus memberikan izin.
Hal ini masih belum memenuhi seruan 80 kelompok hak asasi media untuk memilih larangan total terhadap penggunaan spyware terhadap pers.
Namun Anggota Parlemen Rumania, Ramona Strugariu, salah satu anggota parlemen yang menangani masalah ini, bersikeras bahwa hal itu berarti pemerintah “secara efektif dilarang” menggunakan spyware untuk menyelidiki pekerjaan jurnalis.
Pengawas media Reporters Without Borders mendukung klarifikasi anggota parlemen dan meminta negara-negara Uni Eropa untuk mengikuti jejak mereka.
Hukum Yang Membunuh Kebebasan
Masalah ini menjadi sorotan karena kehebohan di Perancis atas penahanan dua hari jurnalis investigasi, Ariane Lavrilleux, pada bulan lalu karena melaporkan bocoran dokumen yang mengklaim bahwa intelijen Perancis digunakan untuk menargetkan warga sipil di Mesir.
Kelompok jurnalis mengecam serangan terhadap kebebasan pers setelah rumah Lavrilleux digeledah dan dia ditangkap untuk diinterogasi oleh agen badan intelijen dalam negeri Prancis.
Lavrilleux mengecam undang-undang Uni Eropa sebagai “salah satu undang-undang yang paling mematikan kebebasan” dalam sejarah parlemen.
Bagian penting lainnya, dan masih diperdebatkan, dalam rancangan undang-undang ini adalah mengenai moderasi dan kemungkinan penghapusan konten jurnalistik oleh platform online.
Untuk menghindari pemberian terlalu banyak kekuasaan kepada raksasa internet, undang-undang tersebut berencana menetapkan kondisi yang lebih ketat untuk menghapus atau membatasi pemberitaan media.
Untuk mencapai batasan tersebut, jurnalis harus memenuhi kriteria seperti transparan mengenai kepemilikan mereka dan independen secara editorial.
Jika outlet yang terverifikasi dianggap melanggar aturan penggunaan platform, outlet tersebut akan memiliki waktu 24 jam untuk membela diri sebelum melakukan tindakan apa pun.
Anggota parlemen Perancis, Geoffroy Didier, mengatakan hal itu akan "mengkonsolidasikan kebebasan berekspresi" dengan menghentikan perusahaan seperti X, sebelumnya Twitter, menghapus akun jurnalis.
Namun lobi teknologi besar, Asosiasi Industri Komputer dan Komunikasi, mengeluhkan hal tersebut "secara keliru memberikan celah yang dapat disalahgunakan oleh aktor nakal untuk berpura-pura menjadi media dan menyebarkan berita palsu". (AFP)
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...