Upah Murah Jadi Daya Tarik RI Saingi Tiongkok
LONDON, SATUHARAPAN.COM – Upah murah tampaknya akan kembali menjadi daya tarik Indonesia dalam menggaet investasi asing, terutama limpahan dari Tiongkok yang mulai ditinggalkan para penanam modal karena semakin meningkatnya biaya produksi dan upah di negeri itu.
“Upah manufaktur di Tiongkok telah melampaui India, Indonesia dan Vietnam --negara-negara yang kerap disebut sebagai yang mendapat manfaat dari meningkatnya biaya-biaya di Tiongkok," demikian laporan Economist Intelligence Unit (EIU) yang dilansir oleh Bloomberg hari ini.
"Kesenjangan ini akan melebar pada tahun-tahun mendatang seiring dengan masih tetap rendahnya upah buruh di negara-negara ini akibat ekspansi pasokan tenaga kerja," lanjut laporan EIU.
Untuk menunjukkan rendahnya upah di Indonesia, EIU membandingkannya dengan upah buruh di AS. Menurut EIU, upah buruh di AS saat ini adalah 76 kali upah buruh di AS. Sedangkan pada lima tahun mendatang, upah buruh di Indonesia diperkirakan akan meningkat, sehingga upah buruh AS menjadi hanya 58 kali upah buruh Indonesia.
Bila dihitung berdasarkan upah per jam, upah buruh Indonesia menurut EIU, sebetulnya meningkat lebih cepat dibanding upah buruh AS. Upah buruh per jam di AS meningkat 12 persen menjadi US$ 42,82 pada 2019. Sedangkan upah buruh Indonesia meningkat 48 persen, menjadi US$ 78 sen.
Upah buruh per jam di Indonesia, menurut EIU, merupakan yang terendah dibanding dengan berbagai negara di Asia. Di Tiongkok upah per jam sudah mencapai US$ 4,79, Vietnam US$ 3,16 dan di Filipina US$ 3,15.
Pemerintah Joko Widodo dewasa ini tengah berupaya membangkitkan sektor manufaktur sebagai salah satu daya tarik untuk menarik investasi dari negara lain. Namun, Filipina dan Vietnam juga memiliki strategi serupa dalam upaya menarik limpahan investasi dari Tiongkok yang mulai ditinggalkan.
Di sisi lain pemerintah mendapat tekanan dari serikat pekerja untuk menaikkan upah. Menurut EIU, satu hal yang menguntungkan sektor manufaktur sehingga dapat menekan upah buruh tetap rendah adalah populasi Indonesia yang sebagian besar penduduk muda. Ini menjadi benteng bagi pertumbuhan kenaikan upah yang cepat.
Tiongkok dalam beberapa waktu belakangan ramai-ramai ditinggalkan oleh perusahaan asing, terutama perusahaan-perusahaan yang menerjuni sektor manufaktur. Hengkangnya mereka seiring dengan upaya pemerintah Tiongkok menyeimbangkan struktur ekonominya dari yang sebelumnya sangat mengandalkan ekspor, ke ekonomi yang juga didukung oleh konsumsi dalam negeri.
Dulu perusahaan asing berinvestasi di Tiongkok karena negara ini dianggap sebagai salah satu rantai produksi global yang efisien sekaligus sebagai basis untuk ekspor. Menurut Scott Kennedy, peneliti masalah-masalah Tiongkok di Center for Strategic and International Studies (CSIS), dikutip oleh Xinhua, hal itu berubah karena kini biaya buruh terus meningkat, sehingga perusahaan-perusahaan yang sensitif terhadap peningkatan biaya produksi, berencana pindah dari negara itu.
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh American Chamber of Commerce di Tiongkok, 15 persen anggotanya pada tahun 2014 telah pindah atau berencana beralih investasi ke luar Tiongkok akibat naiknya biaya buruh. Sebagian besar yang hengkang adalah perusahaan manufaktur. Sedangkan perusahaan-perusahaan di sektor jasa dan telekomunikasi tetap bertahan bahkan investasinya meningkat.
Hal ini tidak berbeda jauh dengan data Kementerian Perdagangan Tiongkok, yang menunjukkan investasi asing langsung yang masuk ke sektor jasa meningkat 30 persen pada dua bulan pertama tahun ini. Sebaliknya dengan investasi asing langsung yang mengalir ke manufaktur, yang hanya meningkat 7,1 persen.
Deputi Director Asian Development bank (ADB) di Indonesia, Edimon Ginting, mengatakan Indonesia kini memerlukan sumber pertumbuhan ekspor baru untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi di atas enam persen. Sektor manufaktur menurut dia, dapat menjadi primadoma, selain karena booming komoditas sudah usai, sejumlah faktor kini mendukung upaya memajukan sektor manufaktur.
"Sektor manufaktur yang berorientasi ekspor akan lebih stabil dibanding ekspor komoditas yang bergejolak dan juga akan menghasilkan lapangan kerja yang lebih baik," kata Deputy Director Asian Development Bank (ADB) untuk Indonesia, Edimon Ginting.
"Berinvestasi di Tiongkok semakin mahal. Tiongkok akan semakin menjadi konsumen," kata dia. Oleh karena itu, investasi manufaktur ke Indonesia diperkirakan akan meningkat.
"Tenaga kerja Jepang saat ini semakin banyak di usia pensiun. Mereka ingin berinvestasi ke luar Jepang, termasuk Indonesia," tambah dia.
Selain itu, kata dia, depresiasi nilai tukar rupiah turut membantu daya saing ekspor manufaktur Indonesia.
Jaktim Luncurkan Sekolah Online Lansia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur meluncurkan Sekolah Lansia Onl...