Warga Armenia Minta Pengadilan Kriminal Internasional Selidiki Klaim Genosida
DEN HAAG, SATUHARAPAN.COM-Sebuah organisasi hak asasi manusia yang mewakili etnis Armenia mengajukan bukti ke Pengadilan Kriminal Internasional pada hari Kamis (18/4), dengan alasan bahwa Azerbaijan sedang melakukan genosida terhadap mereka.
Pemerintah Azerbaijan tidak segera mengomentari tuduhan tersebut. Negara-negara tetangga telah berselisih selama beberapa dekade mengenai wilayah Karabakh, dan sudah berhadapan dalam kasus hukum terpisah yang timbul dari konflik tersebut.
Pengacara Pusat Kebenaran dan Keadilan (CFTJ) yang berbasis di California, mengatakan ada cukup bukti untuk membuka penyelidikan formal terhadap Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, dan para pemimpin tinggi lainnya atas tuduhan genosida. Mereka telah menyerahkan apa yang disebut komunikasi Pasal 15 yang mendesak kepala jaksa penuntut, Karim Khan, untuk menyelidiki dugaan kekejaman tersebut.
Kantor Khan sekarang akan mempertimbangkan bukti yang diajukan dan menentukan apakah pengadilan akan membuka penyelidikan, sebuah keputusan yang diperkirakan akan memakan waktu berbulan-bulan.
“Tujuan saya di sini adalah untuk membuat badan tertinggi yang melindungi hak asasi manusia mengambil tindakan, bukan hanya sekadar kata-kata,” Lala Abgaryan, yang saudara perempuannya, Gayane, dibunuh oleh tentara Azerbaijan pada tahun 2022, mengatakan kepada The Associated Press.
Tubuh saudara perempuannya dimutilasi dengan parah dan gambar-gambar penganiayaannya tersebar secara online. Abgaryan mengatakan foto-foto itu sangat keji sehingga dia menderita kerusakan psikologis setelah melihatnya.
Ketegangan berkepanjangan antara Armenia dan Azerbaijan meletus pada tahun 2020 menjadi perang di Karabakh yang menyebabkan lebih dari 6.600 orang tewas. Wilayah tersebut berada di dalam Azerbaijan tetapi telah berada di bawah kendali pasukan etnis Armenia sejak berakhirnya perang separatis pada tahun 1994.
Tahun lalu, setelah searangan militer kilat, Azerbaijan merebut kembali wilayah yang disengketakan. Setelah Azerbaijan mendapatkan kembali kendali penuh atas Karabakh, yang berpenduduk sekitar 120.000 jiwa, lebih dari 100.000 etnis Armenia di kawasan itu melarikan diri, meskipun Azerbaijan mengatakan mereka dipersilakan untuk tinggal dan berjanji hak asasi mereka akan terjamin.
Sebelum serangan Azerbaijan, Armenia dan mantan ketua jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), Luis Moreno Ocampo, menuduh Azerbaijan melakukan genosida dengan menciptakan kondisi yang bertujuan untuk menghancurkan kelompok Armenia Karabakh.
Sekelompok sekitar 30 orang berkumpul di tengah hujan di depan pengadilan yang berbasis di Den Haag pada hari Kamis (18/4) untuk menyerahkan lebih dari 100 halaman dokumen.
Organisasi hak asasi manusia tersebut mengatakan telah menyerahkan berkas bukti yang berisi kesaksian lebih dari 500 korban dan saksi.
“Kekejaman ini terekam di media sosial, oleh tentara Azerbaijan sendiri, di mana Anda mendengar mereka tertawa, berkomentar, dan mengambil mayat yang baru saja mereka sembelih dan dipenggal,” kata pemimpin CFTJ Gassia Apkaria kepada AP.
Pakar hukum mengatakan bahwa genosida mungkin tidak dapat diselesaikan oleh pengadilan. Armenia adalah anggota ICC, namun Azerbaijan tidak, sehingga jaksa hanya mempunyai yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan di wilayah Armenia. Karabakh diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan.
Namun, memaksa hampir seluruh penduduk untuk pindah ke Armenia merupakan kewenangan pengadilan. Deportasi dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Meskipun Azerbaijan tidak mendeportasi orang-orang yang melarikan diri tahun lalu, mereka meninggalkan negara tersebut di bawah tekanan.
“Tidak mungkin eksodus ini terjadi secara kebetulan,” kata Mel O’Brien, profesor hukum internasional di University of Western Australia dan pakar genosida.
Pengadilan telah melanjutkan penyelidikan dalam kondisi serupa terhadap kemungkinan kejahatan yang dilakukan oleh Myanmar terhadap kelompok minoritas Rohingya. Meskipun Myanmar bukan negara anggota, negara tetangga Bangladesh adalah negara anggota dan sekitar 750.000 orang telah melarikan diri melintasi perbatasan setelah dipaksa meninggalkan rumah mereka.
Permintaan CFTJ muncul di tengah proses persidangan selama dua pekan antara Armenia dan Azerbaijan di pengadilan global lainnya di Den Haag. Pengadilan tinggi PBB, Mahkamah Internasional, sedang mendengarkan argumen terkait dua kasus yang berasal dari konflik tersebut. Masing-masing negara saling menuduh negara lain melanggar perjanjian diskriminasi rasial. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Jakbar Tanam Ribuan Tanaman Hias di Srengseng
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Barat menanam sebanyak 4.700...