Warga Rohingya Ungkap Kekejaman Militer di Myanmar
RAKHINE, SATUHARAPAN.COM - Setelah serangan terhadap pos polisi di perbatasan Myanmar awal Oktober yang menurut pemerintah dilakukan oleh warga Rohingya, militer melancarkan penumpasan besar-besaran terhadap desa-desa Rohingya dan menolak mengizinkan media dan kelompok-kelompok bantuan masuk ke daerah itu.
Tindakan militer itu menyebabkan ribuan orang melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh.
Di Kamp Kutapalong, ribuan warga etnis Rohingya yang melarikan diri dari persekusi selama tiga dekade terakhir ini di Myanmar, menghadapi kondisi hidup yang keras.
Tapi badan-badan bantuan dan kelompok HAM mengatakan, orang-orang yang melakukan pengungsian besar-besaran terbaru, yang jumlahnya lebih dari 25.000 warga Rohingya, menghadapi nasib yang jauh lebih buruk.
Banyak pengungsi baru mengatakan pasukan Myanmar menyerang warga sipil dan gambar-gambar satelit mengukuhkan klaim bahwa beberapa desa telah dibakar habis.
Bagi pengungsi baru, Gul Jahar, yang tiga anak laki-lakinya hilang selama serangan itu, tidak ada lagi yang tersisa baginya untuk kembali pulang.
“Tentara Myanmar datang ke desa dan membakar setiap rumah. Setelah tentara membakar rumah-rumah dan menghancurkan semuanya mereka mulai menangkapi laki-laki di desa. Banyak orang ditembak tewas. Mereka melempar mayat-mayat ke sungai,” kata Gul seperti dikutip dari voaindonesia.com, hari Jumat (23/12).
Anak anak Rohingya warga desa di pinggiran Maugndaw, negara bagian Rakhine mencari barang-barang dari rumah-rumah yang hangus dibakar akhir Oktober lalu.
Selain penghancuran dan pembunuhan, banyak lagi kisah penyiksaan dan pemerkosaan.
“Tentara datang ke rumah tetangga saya tengah malam dan memerkosa seorang perempuan. Saya melihatnya sendiri,” kata Abu Tha Heck warga etnis Rohinga di Keari Para.
“Saya bersembunyi dan diam-diam menyaksikan apa yang mereka lakukan. Saya melihat insiden itu, saya tidak bisa tetap tinggal di sana jadi saya memutuskan untuk melarikan diri dan meninggalkan semuanya. Saya tidak punya waktu untuk membawa barang berharga apapun,” dia menambahkan.
Sementara kesaksian-kesaksian dari kelompok-kelompok HAM terus bertambah, Kementerian Luar Negeri Myanmar, Jenderal Kyaw Moe Tun mengatakan tuduhan bahwa tentara melakukan kekejaman tidak akan membantu pemerintah mengambil tindakan.
Dia mengatakan pemerintah siap bekerja sama dengan mereka yang memberikan bukti-bukti nyata.
"Siapapun yang memiliki informasi semacam itu, silakan sampaikan dan beri kami bukti konkrit. Kemudian pemerintah siap untuk menyelidikinya,” kata Moe Tun.
Wartawan asing dilarang masuk ke negara bagian Rakhine utara, dekat perbatasan dengan Bangladesh sejak penumpasan itu dimulai bulan Oktober. Tapi beberapa wartawan diizinkan berkunjung ke sana minggu ini meskipun tidak jelas seberapa besar akses yang akan diberikan kepada mereka.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...