Warga Sudan Selatan: Saya Tidak Lagi Merayakan Natal
SYDNEY, SATUHARAPAN.COM – Natal adalah waktu untuk perayaan, tetapi masyarakat Sudan Selatan di Australia menunggu dengan penuh kekhawatiran untuk mendengar kabar dari orang-orang tercinta di tengah kekerasan yang sedang berlangsung di negara itu.
Begitu kekerasan sektarian dan politik berlanjut di negara terbaru di dunia, banyak warga Sudan Selatan di Australia prihatin tentang keselamatan dan kesejahteraan anggota keluarga dan kerabat.
Deng Adut, 30, mengatakan ia tidak akan merayakan Natal hari ini. “Saya tidak merayakan Natal sama sekali. Tidak perlu bagi saya untuk merayakan,” katanya, Selasa (24/12).
Pengacara kriminal dari Parramatta, Australia ini belum bisa menghubungi ibunya selama beberapa hari hingga kini. “Ini mengkhawatirkan saya. Ibu tinggal di Sudan Selatan,” katanya.
“Saya tidak ingin sesuatu terjadi padanya. Hanya Ibu, harta saya di dunia paling berharga. Jadi, saya sangat khawatir.”
“Satu-satunya perayaan yang saya lakukan adalah untuk memastikan bahwa saya mendengar suaranya dan jika itu terjadi, suara Ibu akan menjadi hadiah Natal saya.”
Kerabat Terjebak di Tengah Konflik
Ibu Deng Adut, Athieu, tinggal di ibukota Juba tempat kekerasan dimulai ketika baku tembak terjadi di sebuah barak militer pada 15 Desember. Adut juga mengkhawatirkan saudara-saudaranya.
“Saya berusaha menghubungi adik saya, tapi tidak berhasil,” kata Adut. Adiknya, Akua adalah anggota militer kota Bor, yang telah menjadi tempat dari beberapa kekerasan terburuk di Sudan Selatan pekan ini.
Kota Bor dikuasasi pejuang pendukung mantan wakil presiden negara itu Riek Machar pekan lalu, tetapi pemerintah dilaporkan merebut kota itu kembali pada Senin (23/12) malam.
“Dia terlibat di ketentaraan untuk membela orang yang tidak bersalah, warga sipil biasa yang tidak punya urusan dalam politik, “katanya.
Adut berharap kekerasan berakhir. “Ini menyedihkan. Kita harus berpikir untuk membangun bangsa, tidak merusaknya,” katanya.
Kenangan Natal
Steve Paterno, warga Sudan Selatan, berusaha mengenang Natal di negaranya. Penulis buku yang cukup populer di Sudan ini mengingat, “Lahir dan tumbuh di Sudan Selatan, sebelumnya, dikenal sebagai Sudan, saya memiliki kenangan bersemangat Natal. Misalnya, ada belanja dan hadiah Natal. Ironisnya, ingatan saya terbaik dari ini adalah ketika kami pergi sebagai sebuah keluarga untuk belanja Natal di pasar Malakia di Juba dan kakak saya entah bagaimana tersesat dari keluarga kami dan berakhir di tengah-tengah beberapa orang aneh. Ketika kami menyadari dia hilang, kami menelusuri kembali langkah-langkah kami kembali dan akhirnya menemukan dia panik berteriak dan dikelilingi oleh orang banyak, ‘ana der mama tai, ana der mama tai...!’”
Laki-laki itu kemudian melanjutkan, “Kemudian, ada kenangan di malam Natal. Malam yang penuh kue, masakan, dan makan bersama. Penuh semangat. Suatu kali, saya begadang untuk mengikuti semua kegiatan itu, tapi sayangnya, sepotong arang membara mengenai saya. Saya pun berteriak ‘Ouched!’. Selanjutnya, saya disuruh tidur.
Berikutnya adalah hari yang besar. Ibadah di gereja. Paduan suara yang menyanyikan himne seindah suara malaikat. Lalu, mengunjungi tetangga. Dan, makan kue-kue, jus, dan melakukan apa pun yang menyenangkan.
“Sayang, pengalaman menyenangkan ini juga dicampuri kisah-kisah sedih. Saya bahkan tidak mengingat saat itu apakah sempat merayakan Natal,” kata Analis dan Periset Sudan Selatan ini. “Ada masa-masa Natal yang buruk, tetapi yang saya ingat adalah pada 1992—seperti Natal 2013 ini. Kami baru saja terusir dari kota Torit, Sudan oleh pasukan pemerintah Khartoum. Pada malam itu—saya terjaga tidak dapat tidur—mendengar nyanyian kemenangan mereka. Kami harus menyingkir ke desa Ohiri dengan berjalan kaki sepanjang puluhan kilometer.”
“Kami bertahan hidup dari belas kasih orang lain, bergerak dari satu desa ke yang lain, dengan kecepatan siput, dengan harapan mencapai kerabat saya di desa Ohiri. Pada saat itu, neraka sudah terbuka. Hidup menjadi tidak berharga. Pembunuhan ada di mana-mana, pembunuhan nyawa mereka yang tidak bersalah. Rumor juga berkembang. Misalnya, dalam kasus beberapa kerabat saya, kami harus melakukan pemakaman setidaknya tiga kali sebelum kami bisa mengonfirmasi kematian mereka yang sebenarnya. Atau, bahkan mereka masih hidup. Tidak ada yang benar-benar tahu siapa adalah siapa dan siapa milik sisi mana.”
“Ketika saya akhirnya mencapai desa Ohiri, tempat tinggal kerabat saya, saya dikagetkan dengan kisah-kisah tentang perampokan faksi militer Sudan Selatan di daerah tersebut. Tempat ini malah menjadi seperti pusat untuk perang antarkelompok Sudan Selatan. Saat itu memang masa Natal tentu saja, tapi kami tidak bisa merayakan Natal sedang bersembunyi di semak-semak. Sebab, kami malah saling berperang di antara tentara Sudan Selatan di tengah perayaan kelahiran Kristus.
Selamat Natal untuk semua Anak-anak Sudan Selatan di seluruh dunia, dan Anda semua bisa berbagi cerita dengan berbagai cara.
PBB Kirim Pasukan Perdamaian
Pemungutan suara dewan hampir bisa dua kali lipat ukuran pasukan penjaga perdamaian PBB di negara itu, yang memungkinkan hingga 12.500 pasukan militer dan 1.323 polisi untuk berpatroli di sana.
“Bahkan dengan kemampuan tambahan , kita tidak akan mampu melindungi setiap warga sipil yang membutuhkan di Sudan Selatan,” kata Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki -moon setelah bulat suara Dewan Keamanan yang mendesak pihak bentrok untuk mencari solusi damai.
“Tidak ada solusi militer terhadap konflik ini,” kata Ban, yang kemudian menambahkan bahwa “di musim ini damai, saya mendorong para pemimpin Sudan Selatan untuk bertindak untuk perdamaian.” (sudantribune.com/cnn/abc)
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...