Loading...
INDONESIA
Penulis: Melki Pangaribuan 21:33 WIB | Rabu, 09 Desember 2015

Wawancara Eksklusif dengan Presiden Sinode GIDI tentang Peristiwa Tolikara

Presiden Sinode GIDI Papua, Dorman Wandikbo. (Foto: Melki Pangaribuan)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kurang lebih empat bulan sudah peristiwa pembakaran musala di Kabupaten Tolikara, Papua, berlalu. Berdasarkan informasi yang dihimpun satuharapan.com sampai dengan hari ini, kasus Tolikara sudah memasuki tahapan sidang ke enam di pengadilan tinggi Jayapura, Papua.

Kamis (10/12), pengadilan menjadwalkan menjatuhkan vonis atas dua pemuda dari jemaat GIDI (Gereja Injili Di Indonesia) apakah terbukti bersalah atas peristiwa yang terjadi di Tolikara, pada 17 Juli 2015 yang lalu ataukah hakim akan membebaskan keduanya.

Pada hari Rabu (9/12), satuharapan.com secara khusus mewawancarai Presiden Sinode GIDI Papua, Dorman Wandikbo di Jakarta, tentang kasus ini.

Menurut Dorman Wandikbo, penyebab masalah utama di Tolikara waktu itu adalah masalah Toa atau pengeras suara.

“Jadi kasus Tolikara itu masalah Toa. Kesepakatannya dilalaikan. Kesepakatan yang baik itu tidak ditanggapi baik oleh Kapolres Tolikara dan pimpinan muslim di Tolikara. Itu membuat pemuda marah,” kata Presiden Sinode GIDI itu.

Lebih lanjut, Dorman Wandikbo mengharapkan keadilan bagi dua pemuda GIDI yang saat ini menjalani proses hukum. Kedua, kata dia, harapannya adalah umat Muslim dengan umat GIDI aman untuk seterusnya di Tolikara.

“Harapannya keadilan. Harapan dua pemuda ini dibebaskan. Yang kedua, harapannya adalah umat Muslim dengan umat GIDI aman untuk seterusnya ke depan di Tolikara,” kata dia.

Dalam kesempatan wawancara siang tadi, Dorman Wandikbo menceritakan kronologis sebelum, sesaat, dan sesudah peristiwa di Tolikara, pada 17 Juli 2015. Be.ikut ini penjelasannya kepada satuharapan.com.:

Dalam kejadian Tolikara sebenarnya GIDI dengan muslim itu korban, pihak korban. Sudah lama Tolikara itu Yerusalemnya GIDI. Mekkahnya GIDI. Gereja lahir di situ. Dia lahir di situ dan berkembang ke luar, ke mana-mana di Indonesia dan juga di luar negara yang lain.

Jadi yang dilakukan GIDI pada acara saat itu, adalah acara yang besar. Hadir semua dari seluruh Indonesia. Peserta kami GIDI ada di Kalimantan, tarian dibawa dari suku Dayak. Waktu itu ada di Tolikara. Kami GIDI ada di Jawa, lebih khusus ada di Klaten. Tarian Jawa, Klaten, mereka bawa ke Tolikara pada hari kejadian itu.

Jadi tidak ada pemuda GIDI - yang waktu hari istimewa untuk hari Idul Fitri - baru langsung tiba-tiba muncul serang mereka begitu, tidak.

Kami sedang melakukan acara gereja yang besar. Jadi dua-dua ini sedang acara besar. Bukan hanya muslim saja, GIDI juga punya acara yang besar. Jadi dua-dua punya acara yang besar sementara kita lakukan.

Kalau polisi dia rasa bahwa kenapa kami harus lakukan acara itu, mestinya dia tidak boleh kasih izin to dua-dua. Kesalahannya karena izin dua-dua. Kok Idul fitri dia juga kasih, kegiatan gereja juga dia kasih.

Yang kedua, sebelum hari H. Saya dengan Bupati, kami kasih Sapi untuk perayaan Idul Fitri. Kita beli dua ekor sapi. Satu kasih ke pemuda GIDI, satu kasih ke teman-teman muslim untuk tanggal 17 mereka potong dan makan bersama.

Masalah Toa

Tapi kasus sebenarnya kronologis Tolikara itu terjadi, itu bukan kasusnya masalah pembakaran. Bukan masalah penembakan. Dan bukan juga karena dua adiknya menjadi terdakwa. Mereka ini asap, di mana ada api, di situ ada asap.

Kronologis pelaku sebenarnya, kasus Tolikara itu persoalan masalah toa. Bukan melarang orang ibadah, tidak. Orang GIDI tidak melarang melakukan ibadah Idul Fitri itu, salah.

Toa itu sudah ada kesepakatan antara Bupati, Presiden GIDI, Kapolres Tolikara namanya Suroso, dan pimpinan haji yang ada di Tolikara, bahwa pelaksanaan hari Idul Fitri tidak memakai toa. Dan toa itu sudah lama tidak dipakai. Dari tahun 2010 sudah ada kesepakatan antara masyarakat GIDI, jemaat GIDI dengan umat muslim.

Yang luar biasa di sini adalah tanggal 17 (Juli) itu, pagi-pagi toa ada empat besar-besar  dipasang di atas hari itu. Dari sejak Muslim ada di Tolikara sampai 20-an tahun tidak pernah pakai toa. Aneh to, pada tanggal 17 saja bisa pakai. Dan itu sudah diingatkan, sudah disampaikan bahwa tidak boleh pakai toa.

Lalu dua adik yang sekarang ditahan ini, pagi-pagi mereka turun untuk mau sampaikan kepada bapak haji dan bapak Kapolres. ‘Bapak, ini kita sudah ada kesepakatan, ibadah silakan jalan, tapi kan tidak boleh pakai Toa. Kenapa bapak pakai Toa?’

Mereka tidak turun serang. Kalau orang Papua bilang serang itu bukan begitu, serang itu bawa alat tajam semua. Ini bukan serang, hanya turun untuk menyampaikan tentang ‘kenapa Toa itu dipasang? Siapa yang pasang Toa ini?’

Baru negosiasi dengan  bapak Kapolres, Suroso itu dengan bapak Haji, namanya Haji Ali. Sementara negosiasi, jemaat muslim yang ibadah itu – kan semua pakai pakaian putih – tapi mereka datang ibadah dengan bawa senjata.

Ini luar biasa, orang datang ibadah tapi kok bawa senjata. Jadi senjata begitu sementara sedang negosiasi, belum apa-apa, langsung senjata dikasih keluar. Tembak ke atas, ke udara pertama. Tembak ke atas-tembak ke atas. Pemuda langsung mundur.

Wah ini berarti ada rencana jahat ini, orang datang ibadah tapi kok bawa senjata. Mereka kemudian mundur. Jadi tembakan terus jalan. Nah begitu tembakan jalan, massa mulai turun.

Kenapa massa mulai turun? Karena bukan untuk mau serang. Tapi ingin tahu, kenapa ada penembakan ini? Ada masalah apa? Massa mulai turun.

Kira-kira satu jam kemudian, setelah penembakan itu terjadi. Eh ternyata ada pemuda yang jatuh kena peluru di kaki dan kena peluru di sini (daerah perut). Yang kena di bagian tubuh ini yang meninggal dan yang kena kaki masih hidup.

Karena mereka mulai jatuh, pemuda mulai cari batu untuk lempar. Pelemparan itu terjadi setelah satu jam kemudian. Setelah jatuh-berjatuhan orang-orang ini.

Setelah jatuh kenapa mereka ambil batu baru lempar, tapi lemparnya bukan ke orang. Satu orang muslim pun tidak kena batu sampai hari ini. Tidak ada ke orang tapi lemparnya ke seng. Kenapa lemparnya ke seng? Karena ada yang jatuh.

Tapi kenapa mereka mau serang, tapi kita larang. Setelah itu mereka kita larang,’tidak boleh ada penyerang’, sudah.

Merembet ke Musala

Setelah satu jam kemudian penyerangan itu terjadi, pelemparan dan lain-lain terjadi, kami amankan. Bapak Bupati turun tangan. DPR turun tangan, amankan. Teman-teman Muslim kita amankan, mereka baik.

Lalu sudah satu jam lewat, sudah mulai baik. Eh lihat begini di belakang, kira-kira jarak 200 meter ada asap yang naik. Ada orang yang bakar kios.

Sampai hari ini, tanggal 9 (Desember) ini, siapa yang bakar kios itu belum ada yang kita tahu sampai hari ini. Kita selalu bilang, orang yang bakar kios itu mari kalau ada bukti mari bawa. Tapi tidak tahu siapa yang bakar. Jadi bakarnya kios. Kios itu merembet ke musala.

Yang selama ini diheboh-hebohkan bahwa ‘ada masjid yang terbakar’, ‘ada musala yang terbakar’. Itu sebenarnya bukan masjid, itu musala. Dan itu juga bukan musala, itu rumah keluarga. Tapi rumah itu dijadikan musala. Baru di atas tanah (musala) itu tanah gereja.

Tanah Koramil itu tanah gereja. Tanah Polsek itu tanah gereja. Tanah musala itu tanah gereja.

Semua orang-orang muslim yang tinggal di situ tanah gereja. Dan itu diberikan. Itu sudah lama biasa.

Pak haji yang ada di Tolikara itu biasa orang Tolikara panggil dia itu ‘pendeta Islam’. Itu komunikasi yang lama.  Hubungan yang baik itu berjalan bagus.

Terbakar bukan Dibakar

Tapi anehnya adalah begitu kasus ini terjadi, kok medianya terlalu cepat dipublikasikan. Kalau kita melihat media yang di YouTube, di mana-mana itu.

Kebetulan jaraknya tidak begitu jauh. Jadi kios ini mereka bakar, merembet ke musala. Waktu saat dia merembet ke musala, di tengah-tengah ini ada penjualan BBM.

Tolikara punya pusat penjualan BBM di situ - solar, bensin, semua di situ. Jadi kalau lihat di media itu asap dan api begitu besar, itu BBM punya api yang menyala bukan musala.

Jadi kios yang terbakar itu adalah penjual BBM. Jadi meledak. Lalu kebetulan rumah semua kayu, termasuk musala rumah ini terbakar. Terbakar bukan dibakar.

Jadi terbakar itu terjadi setelah satu jam kemudian. Bukan begitu turun serang langsung bakar, bukan. Media kan bicara begitu.

Yang saya heran itu, kok media itu publikasinya bagus sekali begitu. Dia seperti ambil gambarnya itu rapi.

Dia ambil gambarnya itu berarti sebelum kejadian, ada orang yang sudah pasang wartawannya. ‘Nanti kita pasang toa, nanti kemudian GIDI pasti ribut. Nanti kalau ribut, kita bawa senjata ke tempat ibadah. Nanti kalau kita mulai bikin tembakan kita kasih hancur kegiatan pemuda GIDI, nanti nama GIDI akan jadi seperti ini.’

Jadi ini sudah ada rancangan. Sudah desain sedemikian rupa. Yang di Papua, di Tolikara adalah bolanya. Yang sekarang bermain, desain itu Jakarta sini. 

Jakarta kerjasama dengan Intelijen di Papua. Jakarta sudah desain sedemikian rupa supaya gereja ini jadi kacau. Banyak gereja-gereja di Papua sudah mulai pecah. GIDI kan belum pernah pecah , kita masih utuh sampai hari ini. Jadi mau supaya gereja ini perpecahan terjadi luar biasa begitu. Tapi tidak bisa karena ini gereja Tuhan yang dirikan, Dia juga akan selesaikan pada waktu Dia datang kembali.  

Jadi kasus Tolikara itu masalah toa. Kesepakatannya dilalaikan. Kesepakatan yang baik itu tidak ditanggapi baik oleh Kapolres Tolikara dan pimpinan muslim di Tolikara. Itu membuat pemuda marah.

Aman

Kasus Tolikara sebenarnya bisa diselesaikan di pihak Polda. Secara adat sudah selesai di lapangan. Umat muslim dengan umat GIDI sudah ada jabat tangan di Tolikara. Tapi sidang naik.

Sebenarnya kasus Tolikara dibawa ke pengadilan itu pembuangan sampah dari Polda ke Pengadilan. Pembuangan sampah. Sekarang bola panas ini ada di pengadilan.

Negara ini saya tidak mengerti. … Kalau betul-betul pengadilan maka keputusan besok adalah dua pemuda ini dibebaskan.

Harapannya keadilan. Harapan dua pemuda ini dibebaskan. Yang kedua, harapannya adalah umat muslim dengan umat GIDI aman untuk seterusnya ke depan di Tolikara.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home