Yunani Terbelah Jelang Referendum, Gereja Diharap Jadi Pemersatu
ATHENA, SATUHARAPAN.COM – Pemuka gereja di Yunani harus ekstra hati-hati bersikap menjelang diselenggarakannya referendum pada 5 Juli mendatang. Pada saat itu rakyat Yunani akan memberikan suaranya untuk menyetujui atau menolak program dana talangan lanjutan dari kreditur untuk menjamin kelangsungan ekonomi negara yang nyaris bangkrut. Dan pemuka gereja harus menjaga sikap agar tidak ikut membakar keterbelahan umat.
Salah satu pemuka gereja yang telah ‘kena batu’nya adalah Uskup kota Tesalonika, kota metropolitan yang konservatif, Anthimos. Ia menuai protes dan kecaman karena secara terbuka mengemukakan sikapnya yang pro Eropa dan pro dana talangan dalam sebuah ibadah.
“Pilihlah apa pun yang Anda suka, itu mutlak hak Anda, tetapi kali ini, saya juga memiliki hak untuk membuat pengakuan, saya akan memberi suara kepada Eropa,” kata dia, sebagaimana dilaporkan oleh The Economist.
Sebagian umat yang mendengarnya mulai mulai bertepuk tangan tetapi pada saat yang sama mulai pula ada umat yang berteriak, “Tidak...tidak...” dan rohaniawan itu terpaksa meninggalkan homili.
Ke arah Selatan sedikit, di Pelabuhan Volos, Uskup Ignatius menyampaikan kata-kata keras sebagai kritik kepada tokoh-tokoh yang menurut dia “orang-orang yang berada pada posisi pemimpin” yang mengaduk dendam dan menghancurkan kohesi bangsa.
"Seseorang yang berpikir dia tahu segalanya tidak bisa menjadi orang [yang mempromosikan] kesatuan ... dan orang-orang seperti itu ada, mereka berada dalam peran utama, mereka bertengkar, bersiap untuk menyebabkan perpecahan," kata dia.
Pertanyaan tentang bagaimana gereja dapat berperan – sebagai institusi dan kekuatan moral yang sudah hadir di Yunani jauh sebelum pemerintahan ada – kini mengemuka. Gereja kini ditantang untuk dapat sebagai pelaku rekonsiliasi dan penyembuh luka di tengah potensi perpecahan negara itu.
Kemarin malam (30/6) di Areopagus (bukit di Athena di mana Rasul Paulus pernah berkhotbah) terjadi pertemuan spontan selama 45 menit antara Presiden Prokopis Pavlopoulos dengan dan Uskup Agung Athena, Ieronymos. Mereka tampaknya membicarakan dengan intens peran gereja dalam memenuhi kebutuhan kemanusiaan.
Menurut The Economist, kendati dalam cara yang tidak sempurna dan sering paradoks, gereja telah memainkan peran penting pada titik-titik sensitif tertentu keberadaan negara Yunani modern yang sudah berusia dua abad tersebut. Sebagai contoh, di tahun 1944-1945, setelah Sekutu membebaskan Yunani dari pendudukan Nazi dan negara itu kemudian meluncur menuju perang saudara antara kelompok kiri dan kanan, Uskup Agung Damaskinos dari Athena secara praktis menjadi satu-satunya pemimpin dan pemersatu bangsa yang diakui.
Sebagai buntut dari perang saudara 1946-1949, hubungan sosial di setiap desa dan kota Yunani terluka oleh perbedaan ideologi yang mendalam. Namun kenyataan bahwa hampir semua warga negara setidaknya secara nominal bergabung pada gereja yang sama (kalangan konservatif lebih antusias, sedangkan kelompok kiri agak sedikit enggan), menjadi faktor yang dimungkinkan terjadinya rekonsiliasi meskipun sangat lambat dan bertahap. Ini, misalnya, tampak dari tidak ada halangan yang berarti bagi pernikahan antara keluarga "sayap kiri" dan "sayap kanan." Monopoli gereja atas upacara keagamaan seperti baptisan, pernikahan dan penguburan, meskipun dibenci oleh beberapa kalangan tetapi itu memberi Yunandi landasan budaya bersama.
Tentu saja, Yunani telah banyak berubah di abad ke-21: minoritas yang cukup besar dari populasi Yunani yang tidak memiliki hubungan budaya dengan gereja Ortodoks, baik karena akar keluarga mereka di Tiongkok, Pakistan atau Afrika, atau karena (seperti Alexis Tsipras, yang perdana menteri) yang telah secara resmi menyatakan diri sebagai ateis. Situasi baru ini menempatkan gereja Yunani pada dilema. Di satu sisi gereja dapat saja memicu nativisme dan xenofobia kalangan Yunani ortodoks yang berpadu dengan kalangan politik ultra kanan. Atau di sisi lain, menggunakan pengaruhnya untuk memerangi chauvinisme dan meyakinkan orang-orang Yunani bahwa para migran yang tinggal di tengah-tengah mereka juga patut dihormati dan dikasihi.
Tanda-tanda dari kedua kecenderungan ini di Yunani, kata The Economist, ada pada saat ini.
Pada ibadah terbuka kemarin malam (30/6) di di Areopagus, seorang pejabat muda dari Keuskupan Agung Athena, Simeon Venetsianos, membuat pengakuan yang mengesankan tentang rasisme, dan menyebutnya sebagai sebuah "fenomena yang sangat meresahkan di era kita." Untuk itu, kata dia, respon yang tepat adalah deklarasi Paulus kepada orang Atena bahwa Tuhan telah membuat semua bangsa di bumi dari darah yhang tunggal.
Itu merupakan sebuah catatan yang tidak biasa pada khotbah di Yunani disampaikan, tetapi perlu didengar lebih sering di tengah krisis sosial dan ekonomi di negara yang sedang terhuyung-huyung itu.
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...